Lafadz Basmalah

Lafadz Basmalah
Sebelum Mulai kita baca dulu

Jumat, 25 Februari 2011

Bagaimana Sikap Kita Ketika Ada Berita?

Tulisan 2/3 dari tafsir Surat Al-Hujurot[49]:6
Adab Ketika Datang Berita
Perlu dimaklumi bahwa berita yang kita dengar dan kita baca tidak mesti semuanya benar. Terlebih lagi kita hidup pada zaman yang banyak terjadi fitnah, hasud, ambisi kedudukan, bbohong atas nama ulama, baik itu dilakukan melalui internet, Koran, majalah maupun media masa lainnya. Berita ini bukan hanya merusak kehormatan manusia, akan tetapi merusak ajaran Islam dan pemeluknya.
Sikap yang benar yang harus dilakukan agar kita tidak terpancing oleh berita fitnah ialah sebagaimana ajaran Islam membimbing kita, di antaranya:
  • Tidak semua berita harus kita dengar dan kita baca, khususnya berita yang membahas aib dan membahayakan pikiran.
  • Tidak terburu-buru dalam menanggapi berita, akan tetapi diperlukan tabayyun dan pelan-pelan dalam menelusurinya.
Rosululloh sallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“At-Ta-annii minAlloh wal ‘ajalatu minasy syaithoni”
“Pelan-pelan itu dari Alloh, sedangkan terburu-buru itu dari setan.” (Musnad Abu Ya’la: 7/247, dishohihkan oleh al-Albani: 4/404)
Al-Imam Hasan al-Bashri rahimahulloh berkata: “Orang mukmin itu pelan-pelan sehingga jelas perkaranya.”[1]
Syaikh Sholih Fauzan hafidzahullah berkata: ”Hendaknya kita pelan-pelan dalam menanggapi suatu perkataan, tidak terburu-buru, tidak tergesa-gesa menghukumi orang, hendaknya tabayyun. Sebagaimana firman Alloh ‘Azza wa Jalla dalam QS. al-Hujurot[49]: 6 dan QS. an-Nisa[4]: 94.” (al-Muntaqo min Fatawa al-Fauzan: 3/25)
  • Waspada terhadap pertanyaan yang memancing, karena tidak semua penanya bermaksud baik kepada yang ditanya, terutama ketika menghukumi seseorang. Oleh karena itu tidak semua pertanyaan harus dijawab. Bahkan menjawab ‘saya tidak tahu’ adalah separuh dari pada ilmu. (Hasyiyatul Utsuluts Tsalatsah: 1/118 oleh Abdurrohman bin Muhammad an-Najdi)
  • Hendaknya waspada menanggapi berita pelecehan kepada ulama Sunnah.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulloh berkata: “Sesungguhnya sebagian manusia kadang kala salah dalam memahami perkataan ulama, dan kadang kala seorang ulama memahami pertanyaan tidak seperti maksud penanya, lalu dia pun menjawab sesuai dengan yang dia pahami. Kemudian penanya ini menyebarkan perkataan yang tidak benar. Betapa banyak perkataan yang dinisbahkan kepada para ulama yang mulia, akan tetapi tidak ada dasarnya. Oleh karena itu wajib bagi kita meneliti perkataan orang yang memindah fatwa ulama atau bukan ulama terutama pada zaman sekarang, di mana hawa nafsu dan fanatic golongan menyebar, sehingga manusia berjalan bagaikan buta mata.” (Tafsirul Qur’an oleh Ibnu Utsaimin:7/17)
  • Hendaknya waspada mendengar berita yang disebarkan oleh pihak yang berprasangka buruk. Alloh ‘Azza wa Jalla menyuruh kita agar berbaik sangka dan menjauhi buruk sangka. (Baca QS. al-Hujurot [49]: 12). Rosululloh sallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jauhilah dirimu  dari persangkaan, maka sesungguhnya persangkaan itu sedusta-dustanya perkataan.” (HR. al-Bukhori: 5144)
  • Jauhilah berita yang bersumber dari peng-ghibah dan pemfitnah.
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Penyebab orang itu memfitnah adakalanya karena ingin berbuat jelek kepada orang yang difitnah, atau ingin menampakkan kesenangan kepada yang diberi kabar, atau untuk mendengarkan cerita atau obrolan perkara yang batil. Ini semua adalah haram, maka haram bagi kita membenarkan orang yang membawa berita untuk memfitnah dengan cara apa pun, karena pemfitnah adalah orang fasiq yang wajib ditolak kesaksiannya.”[2]
Ada orang yang datang kepada Amirul mukminin, Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, dia menjelaskan kejelekan orang lain, lalu Umar rahimahullah berkata: “Jika kamu mau, kami akan periksa dahulu berita darimu ini, jika kamu pendusta maka kamu di dalam QS. al-Hujurot: 6, dan jika kamu benar maka kamu termasuk firman Allah ‘Azza wa Jalla: Hammaa zim masyaa-in binamiim
Yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah. ”(QS. al-Qolam [68]: 11)
Jika kamu mau, aku maafkan kesalahanmu.” Lalu orang itu berkata: “Saya memilih dimaafkan wahau Amirul Mukminin dan saya tidak akan mengulangi perkataan ini lagi.” (Nihayatul Arbi fi Fununil ‘Adab: 1/347)
Subhaanallaah! Betapa indahnya para penuntut ilmu pemula pada zaman ini bila mau mengambil faedah dari ulama yang mulia ini, sebuah nasihat emas yang bermanfaat untuk umat.
  • Waspadalah dari berita orang yang mengumbar lisannya tanpa ilmu dan tidak takut dosa. Orang Islam hendaknya tidak membicarakan sesuatu yang dia tidak tahu perkaranya, karena Allah ‘Azza wa Jalla mengancam orang yang berbuat dan berbicara tanpa ilmu. (Baca QS. sl-Isro’[17]: 36 dan QS. al-A’rof [7]: 33)
  • Waspadalah berita yang disebarkan penyembah hawa nafsu dan fanatik golongan. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Ayat ini menunjukkan bahwa manusia wajib meneliti berita terutama yang disampaikan oleh orang penyembah hawa nafsu dan fanatik golongan atau perorangan. Jika berita datang dari orang yang kurang dipercaya, maka wajib diteliti dan jangan terburu-buru dalam menghukuminya padahal berita itu dusta, maka kamu akan menyesal. Dari sinilah datang dalil ancaman keras bagi orang yang menggunjing, yaitu menukil sebagian perkataan orang yang bermaksud merusak orang lain. Rosulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Laa yadkhulul jannah qottaatun

“Tidaklah masuk Surga orang yang pemfitnah.”(Tafsir Ibnu   Utsaimin: 7/16)

Adab Menyampaikan Berita

Tidak semua berita yang kita terima boleh kita sebarkan, karena sumber berita ada kalanya dari orang fasik, orang dengki, pemfitnah bahkan dari orang kafir.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullaah berkata: ”Meneliti berita yang disampaikan oleh orang kafir lebih ditekankan. Oleh karenanya persaksian orang kafir tidak bisa diterima kecuali dalam keadaan darurat, seperti wasiat ketika orang muslim meninggal dalam bepergian dan tidak menjumpai orang muslim.” (Fatawa Nur ‘alad Darb Ibnu Utsaimin)

Syaikh Ibnu Baz rahimahullaah berkata: ”Kita hendaknya meneliti berita yang disampaikan oleh orang kafir dan orang fasik tentang perbintangan dan lainnya, tidak boleh terburu-buru membenarkan atau menolaknya, sehingga benar-benar kita mengetahuinya. Inilah makna QS.Al-hujurot [49]: 6.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 1/255)
Fatwa ulama yang mulia ini bukan hanya sekedar keluar dari pikiran mereka, akan tetapi berdasarkan hadits Rosulullaah shollalloh ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda:
Kafaa bil mar I kadziban an yuhadditsa bikulli maa sami’a
Cukuplah orang itu dikatakan pendusta apabila menceritakan setiap yang dia dengar.” (HR.Muslim:1/12, bersumber dari Hafsh bin ‘Ashim)
Demikian juga berita yang telah terbukti kebenarannya, tidak harus kita sebarkan apalagi jika hal itu membawa bahaya atau resahnya umat. Bukankah meng-ghibah hukumnya haram, walaupun perkataan tentang aib saudaranya itu benar adanya.
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah menanya sahabatnya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (8/21): ”Tahukah kalian apa yang dinamakan ghibah?” Mereka menjawab: ”Alloh dan RosulNya yang lebih tau.” Lalu beliau bersabda:

Dzikruka akhooka bima yakrohu

“Kamu menyebut apa yang dibenci saudaramu”
Mereka bertanya: “Bagaimana bila yang aku sebut itu benar-benar terjadi?” Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika benar apa yang kalian katakan, maka kalian meng-ghibah. Jika tidak benar, kalian membuat kebohongan.”
Jika mengghibah orang muslim awam saja terlarang, maka bagaimana dengan ulama pembela sunnah? Ini semua dilarang karena membahayakan umat. Umat akan menjauhi orang yang berilmu dan terjadilah petaka.
Demikian juga dilarang membeberkan kesalahan para pemimpin di mimbar atau media masa (surat kabar, intenet, dan media lainnya). Karena yang demikian itu pada hakekatnya bukanlah menasehati pemimpin, tetapi menyebarkan kedholiman yang meresahkan umat.
Lalu kapan kita diperbolehkan menyebarkan berita jelek atas diri seseorang? Yaitu jika kejahatan yang mereka lakukan itu jelas-jelas membahayakan umat, seperti: pencuri, perampok, perusak keamanan, penyeru bid’ah dan syirik. Karena jika hal itu didiamkan akan membawa kerusakan yang lebih besar.
Tetapi dalam hal ini tidak berlaku untuk sembarang orang, ada orang yang lebih berhak menangani hal tersebut.
Kita boleh menyebut kejahatan orang bila bermaksud meminta fatwa kepada orang yang berhak dimintai fatwa.
Hindun Ummu Muawiyyah radhiyallohu ‘anha pernah berkata kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah suami yang bakhil, apakah saya berdosa jika mengambil hartanya?” Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam menjawab: ”Ambillah untukmu dan anakmu secukupnya dengan cara yang baik.” (HR.Al-Bukhori:1/186)
Hendaknya kita menyebarkan berita yang benar dan bermanfaat bagi umat, seperti memberitahukan permulaan bulan Romadhon, hari raya, waktu sholat, kajian ilmiah dan berita bermanfaat lainnya. Dan hendaknya kita tidak menyebarkan berita apabila mengakibatkan manusia malas beribadah. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada sahabat Mu’adz rodhiyallohu ‘anhu:

“Tidaklah seorang pun yang bersyahadat bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar kecuali Alloh dan Muhammad itu utusan Alloh benar-benar dari hatinya yang ikhlash melainkan Alloh mengharamkan dirinya masuk neraka.” Lalu Mu’adz berkata: “Wahai Rosululloh! Bolehkah aku beritahukan kepada manusia agar mereka gembira.” Beliau menjawab: “Kalau begitu, mereka akan bergantung pada kalimat ini saja saat mau meninggal dunia karena takut berdosa.” (HR.Bukhori:1/230)
Hendaknya kita tidak menyebarkan berita yang itu haknya ulama sunnah dan pemimpin. Alloh subhaanahu wa ta’ala berfirman:
Dan apabila dating kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rosul dan Ulil ‘Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui  kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rosul dan Ulil ‘Amri).” (QS. an-Nisa’ [4]: 83)
Syaikh Abdurrozzak bin Abdul Muhsin hafidzahullah berkata: “Hendaknya kalian memperhatikan ayat ini (QS. an-Nisa’: 83 ), di dalamnya mengandung pelajaran. jika terjadi perkara yang mengganggu keamanan negara, hendaknya tidak sembarang orang boleh bicara, tidak minta fatwa kepada sembarang manusia. Akan tetapi kembalikan urusan ini kepada ulama yang kuat mendalami ilmu agama dan ahli ijtihad. (Amnul Bilad Ahammiyatuhu wa Wasaailu Tahqiqihi wa Hifdzihi hlm: 25)
Hendaknya tidak menyebarkan berita yang melecehkan ulama sunnah. Banyak kita jumpai di internet, surat kabar dan media masa lainnya tentang pelecehan terhadap ulama sunnah yang dikemas sedemikian rupa oleh ahli bid’ah dan penyembah hawa nafsu, misalnya terhadap Syaikh al-Albani, Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumullah dan yang lainnya.
Hendaknya kita tidak menyebarkan berita yang tidak berdasar ilmu, misalnya katanya fulan demikian dan demikian. Karena yang demikian itu adalah tuduhan tanpa ilmu. Rosulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Innallaaha kariha lakum tsalaatsan qiila wa qaala, wa idhaa ‘atal maali wa katsratas su-al
“Sesungguhnya Allah membenci kamu tiga perkara: katanya dan katanya, menyia-nyiakan harta dan sering bertanya (yang tidak bermanfaaat).” (HR. al-Bukhari: 5/482)

2 komentar: