Lafadz Basmalah

Lafadz Basmalah
Sebelum Mulai kita baca dulu

Minggu, 27 Februari 2011

Biografi Ali Bin Abi Thalib

Nama Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muththalib bin Hasyim. Abu Thalib adalah saudara kandung Abdullah bin Abdul Muththalib, ayah baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Jadi Ali bin Abi Thalib adalah saudara sepupu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau dijuluki Abul Hasan dan Abu Turab.

Semenjak kecil beliau hidup diasuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena ayahnya terlalu banyak beban dan tugas yang sangat banyak dan juga banyak keluarga yang harus dinafkahi, sedangkan Abu Thalib hanya memiliki sedikit harta semenjak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih anak-anak

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengasuhnya sebagai balas budi terhadap pamannya, Abu Thalib yang telah mengasuh beliau ketika beliau tidak punya bapak dan ibu serta kehilangan kakek tercintanya, Abdul Muththalib.

Ali bin Abi Thalib masuk Islam:

Mayoritas ahli sejarah Islam menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah orang kedua yang masuk Islam setelah Khadijah radhiyallahu ‘anha, di mana usia beliau saat itu masih berkisar antara 10 dan 11 tahun. Ini adalah suatu kehormatan dan kemuliaan bagi beliau, di mana beliau hidup bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan terdepan memeluk Islam. Bahkan beliau adalah orang pertama yang melakukan shalat berjamaah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana ditulis oleh al-Askari (penulis kitab al-Awa`il).

Sifat fisik dan kepribadian beliau:

Beliau adalah sosok yang memiliki tubuh yang kekar dan lebar, padat berisi dengan postur tubuh yang tidak tinggi, perut besar, warna kulit sawo matang, berjenggot tebal berwarna putih seperti kapas, kedua matanya sangat tajam, murah senyum, berwajah tam-pan, dan memiliki gigi yang bagus, dan bila berjalan sangat cepat.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah sosok manusia yang hidup zuhud dan sederhana, memakai pakaian seadanya dan tidak terikat dengan corak atau warna tertentu. Pakaian beliau berbentuk sarung yang tersimpul di atas pusat dan menggantung sampai setengah betis, dan pada bagian atas tubuh beliau adalah rida’ (selendang) dan bahkan pakaian bagian atas beliau bertambal. Beliau juga selalu mengenakan kopiah putih buatan Mesir yang dililit dengan surban.

Ali bin Abi Thalib juga suka memasuki pasar, menyuruh para pedagang bertakwa kepada Allah dan menjual dengan cara yang ma`ruf.

Beliau menikahi Fatimah az-Zahra putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dikarunia dua orang putra, yaitu al-Hasan dan al-Husain.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah sosok pejuang yang pemberani dan heroik, pantang mundur, tidak pernah takut mati dalam membela dan menegakkan kebenaran. Keberanian beliau dicatat di dalam sejarah, sebagai berikut:

a) Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ingin berhijrah ke Madinah pada saat rumah beliau dikepung di malam hari oleh sekelompok pemuda dari berbagai utusan kabilah Arab untuk membunuh Nabi, Nabi menyuruh Ali bin Abi Thalib shallallahu ‘alaihi wasallam tidur di tempat tidur beliau dengan mengenakan selimut milik beliau. Di sini Ali bin Abi Thalib benar-benar mempertaruhkan nyawanya demi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan penuh tawakal kepada Allah Ta’ala.

Keesokan harinya, Ali disuruh menunjukkan keberadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun beliau menjawab tidak tahu, karena beliau hanya disuruh untuk tidur di tempat tidurnya. Lalu beliau disiksa dan digiring ke Masjidil Haram dan di situ beliau ditahan beberapa saat, lalu dilepas.

b) Beliau kemudian pergi berhijrah ke Madinah dengan berjalan kaki sendirian, menempuh jarak yang sangat jauh tanpa alas kaki, sehingga kedua kakinya bengkak dan penuh luka-luka setibanya di Madinah.

c) Ali bin Abi Thalib terlibat dalam semua peperangan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, selain perang Tabuk, karena saat itu beliau ditugasi menjaga kota Madinah. Di dalam peperangan-peperangan tersebut beliau sering kali ditugasi melakukan perang tanding (duel) sebelum peperangan sesungguhnya dimulai. Dan semua musuh beliau berhasil dilumpuhkan dan tewas. Dan beliau juga menjadi pemegang panji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Keutamaan Ali bin Abi Thalib radhiayallahu ‘anhu:

Keutamaan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sangat banyak sekali. Selain yang telah disebutkan di atas, masih banyak lagi keutamaan dan keistimewaan beliau. Berikut ini di antaranya:

-Ali adalah manusia yang benar-benar dicintai Allah dan RasulNya.

Pada waktu perang Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bendera ini sungguh akan saya berikan kepada seseorang yang Allah memberikan kemenangan melalui dia, dia mencintai Allah dan RasulNya, dan dia dicintai Allah dan RasulNya.” Maka pada malam harinya, para sahabat ribut membicarakan siapa di antara mereka yang akan mendapat kehormatan membawa bendera tersebut. Dan keesokan harinya para sahabat datang menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, masing-masing berharap diserahi bendera. Namun beliau bersabda, “Mana Ali bin Abi Thalib?” Mereka menjawab, “Matanya sakit, ya Rasulullah.” Lalu Rasulullah menyuruh untuk menjemputnya dan Ali pun datang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyemburkan ludahnya kepada kedua mata Ali dan mendoakannya. Dan Ali pun sembuh seakan-akan tidak pernah terkena penyakit. Lalu beliau memberikan bendera kepadanya. Ali berkata, “Ya Rasulullah, aku memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita.” Beliau menjawab, “Majulah dengan tenang sampai kamu tiba di tempat mereka, kemudian ajaklah mereka masuk Islam dan sampaikan kepada mereka hak-hak Allah yang wajib mereka tunaikan. Demi Allah, sekiranya Allah memberikan hidayah kepada seorang manusia melalui dirimu, sungguh lebih baik bagimu dari pada unta-unta merah.” (HR. Muslim, no. 2406).

-Jiwa juang Ali sangat melekat di dalam kalbunya, sehingga ketika Rasulullah ingin berangkat pada perang Tabuk dan memerintah Ali agar menjaga Madinah, Ali merasa keberatan sehingga mengatakan, “Apakah engkau meninggalkan aku bersama kaum perempuan dan anak-anak?”

Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru menunjukkan kedudukan Ali yang sangat tinggi seraya bersabda, “Apakah engkau tidak ridha kalau kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada kenabian sesudahku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

-Beliau juga adalah salah satu dari sepuluh orang yang telah mendapat “busyra biljannah” (berita gembira sebagai penghuni surga), sebagaimana dinyatakan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam al-Mustadrak.

-Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyatakan kepada Ali radhiyallahu ‘anhu, “bahwa tidak ada yang mencintainya kecuali seorang Mukmin dan tidak ada yang membencinya, kecuali orang munafik.” (HR. Muslim)

-Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda kepada Ali radhiyallahu ‘anhu,

?????? ??????? ??????? ??????.

“Engkau adalah bagian dariku dan aku adalah bagian darimu.” (HR. al-Bukhari).

-Beliau juga sangat dikenal dengan kepandaian dan ketepatan dalam memecahkan berbagai masalah yang sangat rumit sekalipun, dan beliau juga seorang yang memiliki `abqariyah qadha’iyah (kejeniusan dalam pemecahan ketetapan hukum) dan dikenal sangat dalam ilmunya. (Lihat: Aqidah Ahlussunnah fi ash-Shahabah, jilid I, halaman 283).

Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah:

Ketika Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah keempat, situasi dan suasana kota Madinah sangat mencekam, dikuasai oleh para pemberontak yang telah menodai tanah suci Madinah dengan melakukan pembunuhan secara keji terhadap Khalifah ketiga, Uts-man bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu.

Ali bin Abi Thalib dalam pemerintahannya benar-benar menghadapi dilema besar yang sangat rumit, yaitu:

1) Kaum pemberontak yang jumlahnya sangat banyak dan menguasai Madinah.

2) Terbentuknya kubu penuntut penegakan hukum terhadap para pemberontak yang telah membunuh Utsman bin ‘Affan, yang kemudian melahirkan perang saudara, perang Jamal dan Shiffin.

3) Kaum Khawarij yang dahulunya adalah para pendukung dan pembela beliau kemudian berbalik memerangi beliau.

Namun dengan kearifan dan kejeniusan beliau dalam menyikapi berbagai situasi dan mengambil keputusan, beliau dapat mengakhiri pertumpahan darah itu melalui albitrasi (tahkim), sekalipun umat Islam pada saat itu masih belum bersatu secara penuh.

Abdurrahman bin Muljam, salah seorang pentolan Khawarij memendam api kebencian terhadap Ali bin Abi Thalib, karena dianggap telah menghabisi rekan-rekannya yang seakidah, yaitu kaum Khawarij di Nahrawan. Maka dari itu ia melakukan makar bersama dua orang rekannya yang lain, yaitu al-Barak bin Abdullah dan Amr bin Bakar at-Tamimi, untuk menghabisi Ali, Mu’awiyah dan Amr bin al-’Ash, karena dia anggap sebagai biang keladi pertumpahan darah.

Al-Barak dan Amr gagal membunuh Mu’awiyah dan Amr bin al-’Ash, sedangkan Ibnu Muljam berhasil mendaratkan pedangnya di kepala Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib, pada dini hari Jum’at, 17 Ramadhan, tahun 40 H. dan beliau wafat keesokan hari-nya.

Biografi Utsman Bin Affan

Nama lengkapnya adalah ‘Utsman bin Affan bin Abi Ash bin Umayah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf al Umawy al Qurasy, pada masa Jahiliyah ia dipanggil dengan Abu ‘Amr dan pada masa Islam nama julukannya (kunyah) adalah Abu ‘Abdillah. Dan juga ia digelari dengan sebutan “Dzunnuraini”, dikarenakan beliau menikahi dua puteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam yaitu Ruqayah dan Ummu Kaltsum. Ibunya bernama Arwa’ bin Kuraiz bin Rabi’ah bin Habib bin ‘Abdi Syams yang kemudian menganut Islam yang baik dan teguh

Keutamaannya

Imam Muslim telah meriwayatkan dari ‘Aisyah, seraya berkata,” Pada suatu hari Rasulullah sedang duduk dimana paha beliau terbuka, maka Abu Bakar meminta izin kepada beliau untuk menutupinya dan beliau mengizinkannya, lalu paha beliau tetap dalam keadaan semula (terbuka). Kemudian Umar minta izin untuk menutupinya dan beliau mengizinkannnya, lalu paha beliau tetap dalam keadaan semula (terbuka), ketika Utsman meminta izin kepada beliau, amaka beliau melepaskan pakaiannya (untuk menutupi paha terbuka). Ketika mereka telah pergi, maka aku (Aisyah) bertanya,”Wahai Rasulullah, Abu Bakar dan Umar telah meminta izin kepadamu untuk menutupinya dan engkau mengizinkan keduanya, tetapi engkau tetap berada dalam keadaan semula (membiarkan pahamu terbuka), sedangkan ketika Utsman meminta izin kepadamu, maka engkau melepaskan pakainanmu (dipakai untuk menutupinya). Maka Rasulullah menjawab,” Wahai Aisyah, Bagaimana aku tidak merasa malu dari seseorang yang malaikat saja merasa malu kepadanya”.

Ibnu ‘Asakir dan yang lainnya menjelaskan dalam kitab “Fadhail ash Shahabah” bahwa Ali bin Abi Thalib ditanya tentang Utsman, maka beliau menjawab,” Utsman itu seorang yang memiliki kedudukan yang terhormat yang dipanggil dengan Dzunnuraini, dimana Rasulullah menikahkannya dengan kedua putrinya.

Perjalanan hidupnya

Perjalanan hidupnya yang tidak pernah terlupakan dalam sejarah umat islam adalah beliau membukukan Al-Qura’an dalam satu versi bacaan dan membuat beberapa salinannya yang dikirim kebeberapa negeri negeri Islam. Serta memerintahkan umat Islam agar berpatokan kepadanya dan memusnahkan mushaf yang dianggap bertentangan dengan salinan tersebut. Atas Izin allah Subhanahu wa ta’ala, melalui tindakan beliau ini umat Islam dapat memelihara ke autentikan Al-Qur’an samapai sekarang ini. Semoga Allah membalasnya dengan balasan yang terbaik.

Diriwayatkan dari oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnadnya dari yunus bahwa ketika al Hasan ditanya tentang orang yang beristirahat pada waktu tengah hari di masjid ?. maka ia menjawab,”Aku melihat Utsman bin Affan beristirahat di masjid, padahal beliau sebagai Khalifah, dan ketika ia berdiri nampak sekali bekas kerikil pada bagian rusuknya, sehingga kami berkata,” Ini amirul mukminin, Ini amirul mukminin..”

Diriwayatkan oleh Abu Na’im dalam kitabnya “Hulyah al Auliyah” dari Ibnu Sirin bahwa ketika Utsman terbunuh, maka isteri beliau berkata,” Mereka telah tega membunuhnya, padahal mereka telah menghidupkan seluruh malam dengan Al-Quran”.

Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, seraya ia berkata dengan firman Allah”. “(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Qs Az-Zumar:9) yang dimaksud adalah Utsman bin Affan.

Wafatnya

Ia wafat pada tahun 35 H pada pertengahan tasyriq tanggal 12 Dzul Hijjah, dalam usia 80 tahun lebih, dibunuh oleh kaum pemberontak (Khawarij).

Biografi Umar Bin Khaththab

Nama lengkapnya adalah Umar bin Khaththab bin Nufail bin Abdul Izzy bin Rabah bin Qirath bin Razah bin Adi bin Ka’ab bin Luay al-Quraisy al-‘Adawy. Terkadang dipanggil dengan Abu Hafash dan digelari dengan al-Faruq. Ibunya bernama Hantimah binti Hasyim bin al-Muqhirah al-Makhzumiyah

Awal Keislamanya.

Umar masuk Islam ketika para penganut Islam kurang lebih sekitar 40 (empat puluh) orang terdiri dari laki-laki dan perempuan.

Imam Tirmidzi, Imam Thabrani dan Hakim telah meriwayatkan dengan riwayat yang sama bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam telah berdo’a,” Ya Allah, muliakanlah agama Islam ini dengan orang yang paling Engkau cintai diantara kedua orang ini, yaitu Umar bin al-Khaththab atau Abu Jahal ‘Amr bin Hisyam.”.

Berkenaan dengan masuknya Umar bin al-Khaththab ke dalam Islam yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad yang diungkap oleh Imam Suyuti dalam kitab “ Tarikh al-Khulafa’ ar-Rasyidin” sebagai berikut:

Anas bin Malik berkata:” Pada suatu hari Umar keluar sambil menyandang pedangnya, lalu Bani Zahrah bertanya” Wahai Umar, hendak kemana engkau?,” maka Umar menjawab, “ Aku hendak membunuh Muhammad.” Selanjutnya orang tadi bertanya:” Bagaimana dengan perdamaian yang telah dibuat antara Bani Hasyim dengan Bani Zuhrah, sementara engkau hendak membunuh Muhammad”.

Lalu orang tadi berkata,” Tidak kau tahu bahwa adikmu dan saudara iparmu telah meninggalkan agamamu”. Kemudian Umar pergi menuju rumah adiknya dilihatnya adik dan iparnya sedang membaca lembaran Al-Quran, lalu Umar berkata, “barangkali keduanya benar telah berpindah agama”,. Maka Umar melompat dan menginjaknya dengan keras, lalu adiknya (Fathimah binti Khaththab) datang mendorong Umar, tetapi Umar menamparnya dengan keras sehingga muka adiknya mengeluarkan darah.

Kemudian Umar berkata: “Berikan lembaran (al-Quran) itu kepadaku, aku ingin membacanya”, maka adiknya berkata.” Kamu itu dalam keadaan najis tidak boleh menyentuhnya kecuali kamu dalam keadaan suci, kalau engaku ingin tahu maka mandilah (berwudhulah/bersuci).”. Lalu Umar berdiri dan mandi (bersuci) kemudian membaca lembaran (al-Quran) tersebut yaitu surat Thaha sampai ayat,” Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhanselain Aku, maka sembahlah Aku dirikanlah Shalat untuk mengingatku.” (Qs.Thaha:14). Setelah itu Umar berkata,” Bawalah aku menemui Muhammad.”.

Mendengar perkataan Umar tersebut langsung Khabbab keluar dari sembunyianya seraya berkata:”Wahai Umar, aku merasa bahagia, aku harap do’a yang dipanjatkan Nabi pada malam kamis menjadi kenyataan, Ia (Nabi) berdo’a “Ya Allah, muliakanlah agama Islam ini dengan orang yang paling Engkau cintai diantara kedua orang ini, yaitu Umar bin al-Khaththab atau Abu Jahal ‘Amr bin Hisyam.”.

Lalu Umar berangkat menuju tempat Muhammad Shallallahu alaihi wassalam, didepan pintu berdiri Hamzah, Thalhah dan sahabat lainnya. Lalu Hamzah seraya berkata,” jika Allah menghendaki kebaikan baginya, niscaya dia akan masuk Islam, tetapi jika ada tujuan lain kita akan membunuhnya”. Lalu kemudian Umar menyatakan masuk Islam dihadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam.

Lalu bertambahlah kejayaan Islam dan Kaum Muslimin dengan masuknya Umar bin Khaththab, sebagaimana ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Mas’ud, seraya berkata,” Kejayaan kami bertambah sejak masuknya Umar.”.

Umar turut serta dalam peperangan yang dilakukan bersama Rasulullah, dan tetap bertahan dalam perang Uhud bersama Rasulullah sebagaimana dijelaskan oleh Imam Suyuthi dalam “Tarikh al-Khulafa’ar Rasyidin”.

Rasulullah memberikan gelar al-Faruq kepadanya, sebagaimana ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dari Dzakwan, seraya dia berkata,” Aku telah bertanya kepada Aisyah, “ Siapakah yang memanggil Umar dengan nama al-Faruq?”, maka Aisyah menjawab “Rasulullah”.

Hadist Imam Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:” Sungguh telah ada dari umat-umat sebelum kamu para pembaharu, dan jika ada pembaharu dari umatku niscaya ‘Umarlah orangnya”. Hadist ini dishahihkan oleh Imam Hakim. Demikian juga Imam Tirmidzi telah meriwayatkan dari Uqbah bin Amir bahwa Nabi bersabda,” Seandainya ada seorang Nabi setelahku, tentulah Umar bin al-Khaththab orangnya.”.

Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Ibnu Umar dia berkata,” Nabi telah bersabda:”Sesungguhnya Allah telah mengalirkan kebenaran melalui lidah dan hati Umar”. Anaknya Umar (Abdullah) berkata,” Apa yang pernah dikatakan oleh ayahku (Umar) tentang sesuatu maka kejadiannya seperti apa yang diperkirakan oleh ayahku”.

Keberaniannya

Riwayat dari Ibnu ‘Asakir telah meriwayatkan dari Ali, dia berkata,” Aku tidak mengetahui seorangpun yang hijrah dengan sembunyi sembunyi kecuali Umar bi al-Khaththab melakukan dengan terang terangan”. Dimana Umar seraya menyandang pedang dan busur anak panahnya di pundak lalu dia mendatangi Ka’bah dimana kaum Quraisy sedang berada di halamannya, lalu ia melakukan thawaf sebanyak 7 kali dan mengerjakan shalat 2 rakaat di maqam Ibrahim.

Kemudian ia mendatangi perkumpulan mereka satu persatu dan berkata,” Barang siapa orang yang ibunya merelakan kematiannya, anaknya menjadi yatim dan istrinya menjadi janda, maka temuilah aku di belakang lembah itu”. Kesaksian tersebut menunjukan keberanian Umar bin Khaththab Radhiyallahu’Anhu.

Wafatnya

Pada hari rabu bulan Dzulhijah tahun 23 H ia wafat, ia ditikam ketika sedang melakukan Shalat Subuh beliau ditikam oleh seorang Majusi yang bernama Abu Lu’luah budak milik al-Mughirah bin Syu’bah diduga ia mendapat perintah dari kalangan Majusi. Umar dimakamkan di samping Nabi dan Abu Bakar ash Shiddiq, beliau wafat dalam usia 63 tahun.

Jumat, 25 Februari 2011

Tabayyun Dalam Menerima Berita

Tulisan 1/3 dari tafsir Surat Al-Hujurot[49]:6
Jangan heran jika dalam sebuah hubungan persaudaraan tiba-tiba terjadi perseteruan sengit. Setelah diusut, biangnya adalah salah dalam menerima dan menyampaikan sebuah berita. Jangan pula mengira, berita dari mulut ke mulut, berita dari surat kabar dan sebagainya, itu pasti benar. Boleh jadi itu adalah bisikan iblis yang masuk ke jiwa pendengki yang ingin merenggut nyawa dan akidahmu.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٍ۬ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَـٰلَةٍ۬ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَـٰدِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurot[49]:6)
Makna Ayat Secara Umum
Syaikh Abdurrahman As-Si’di rahimahullah berkata: “Jika ada orang fasiq membawa berita maka hendaknya diteliti terlebih dahulu, tidak langsung diterima. Jika langsung diterima maka bias menjatuhkan pelakunya kepada perbuatan dosa. Berita orang fasiq tentu tidak sama dengan berita orang yang benar. Jika dianggap sama (tidak dilakukan tabayyun) maka bisa berakibat saling bunuh, hilangnya harta dan nyawa tanpa bukti yang benar, dan pasti menyesal.
Oleh karena itu, apabila datang berita dari orang yang fasiq hendaklah diteliti, jika berita yang disampaikan nyata atau ada tanda kebenarannya, maka boleh diterima. Namun jika berita itu dusta maka dustakanlah dan tolaklah. Ayat ini juga menunjukkan bahwa berita orang yang benar boleh diterima dan berita orang pendusta ditolak. Sedangkan berita orang fasiq ditangguhkan sampai ada bukti lain yang menunjukkan kebenaran atau kedustaannya. Sehubungan dengan hal itu, ulama salaf menerima berita orang khawarij yang dikenal kejujurannya, sekalipun mereka itu fasiq.” (Tafsir al-Karimir-Rahman: 1/799)
Sebab Turun Ayat
Rosulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu’id radhiyallahu ‘anhu pergi ke bani  al-Mustaliq guna mengambil zakat. Tatkala bani al-Mustaliq mendengar ini, mereka gembira lalu pergi menemui Rosulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ketika al-Walid mendapat berita bahwa mereka pergi menemui Rosulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam, pulanglah dia menjumpai Rosulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: “Wahai Rosulullah! Sesungguhnya bani al-Mustaliq enggan membayar zakat.” Tatkala Rosulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam mendengar berita tersebut (al-Walid radhiyallaahu ‘anhu), beliau marah sekali. Saat itu pula, beliau sallallaahu ‘alaihi wa sallam merencanakan menjumpai mereka. Tiba-tiba datanglah utusan ( bani al-Mustaliq) seraya berkata: “Wahai Rosulullah! Kami mendapat berita bahwa utusanmu pulang di tengah perjalanan, sedangkan kami khawatir dia pulang karena menerima surat dari Anda, lalu baginda marah kepada kami, sesungguhnya kami berlindung kepada Allah dari kemarahan-Nya dan kemarahan utusan-Nya.”
Karena Rosulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam ingin menyerangnya, maka Alloh menurunkan udzur mereka di dalam ayat ini, yaitu QS. al-Hujurot[49]: 6.” (HR. al-Bukhari: 8/95, dishahihkan oleh al-Albani, baca Silsilah Shohihah: 8/95)
Makna Fasiq
Berita dari orang fasiq ditangguhkan sampai jelas perkaranya. Lalu siapa orang fasiq yang dimaksud di sini? Mereka adalah orang yang keluar dari ketentuan syar’i, orang yang berbuat maksiat,yang meninggalkan perintah Alloh ‘Azza wa Jalla dan keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu, Iblis dikatakan fasiq karena enggan melaksakan perintah Alloh Subhanahu wa Ta’ala agar sujud kepada Nabi Adam ‘Alaihis Salaam.[1]
Kefasiqan dibedakan menjadi dua macam, yaitu: Kefasiqan yang menjadikan pelakunya tetap muslim akan tetapi mereka bermaksiat, seperti ayat di atas. (QS. al-Hujurot [49]: 6) Dan kefasiqan yang menjadikan pelakunya kafir, keluar dari Islam, seperti firman-Nya:
Maka apakah orang yang beriman itu sama seperti orang yang fasiq(kafir)? Mereka tidak sama.” (QS. as-Sajdah[32]: 18)[2]
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: ”Orang yang terang-terangan mengerjakan kefasiqan tidak boleh menjadi imam sholat, inilah pendapat ulama Sunnah. Walaupun ada sebagian yang membolehkan, namun untuk menghukumi mereka fasiq bukan perkara yang mudah seperti umumnya orang berkata. Oleh Karena itu Alloh ‘Azza wa Jalla mencela orang yang mudah memfasiqkan orang yang beriman.
Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman.” (QS. al-Hujurot [49]: 11) (Liqo’ Babil Maftuh : 6/119)

Namun yang menjadi imam adalah waliyul ‘amri yang curang, maka kita wajib bermakmum kepadanya, karena keluar dari mereka sungguh sangat berbahaya.  ‘Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sholat adalah perbuatan manusia yang paling baik, jika mereka baik sholatnya maka ikutilah kebaikannya, jika jelek sholatnya maka jauhilah kejelekannya.”
Dan ada sebagian yang berpendapat mengulangi sholatnya di rumah dengan tidak menampakkannya kepada orang lain.” (Tafsir al-Qurthubi: 16/312)

Adapun orang fasiq jika ia menjadi saksi, maka hukumnya haram dan wajib ditolak.[3]
Makna Tabayyun
Pada ayat di atas kita jumpai kalimat fatabayyanuu diterjemahkan dengan “periksalah dengan teliti”. Maksudnya telitilah berita itu dengan cermat, dengan pelan-pelan, dengan lembut, tidak tergesa-gesa menghukumi perkara dan tidak meremehkan urusan, sehingga benar-benar menghasilkan keputusan yang benar. Hendaknya meneliti berita yang datang kepadamu sebelum kamu beritakan, sebelum kamu kerjakan dan sebelum kamu menghukumi orang. (Baca Tafsiru Ayatil Ahkam: 1/226, Fathul Qodir: 7/10)

Haruskah Ditolak Berita Orang Fasiq
Apabila kita mengamati ayat di atas, Alloh ‘Azza wa Jalla tidak memperintahkan kita agar menolak berita orang fasiq atau menerimanya, karena bisa jadi beritanya benar atau salah. Karenanya wajib diteliti terlebih dahulu agar kita tidak menyesal atas kurangnya kehati-hatian kita.
Al-Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “Dari ayat ini kita dapat mengambil faidah, bahwa Alloh ‘Azza wa Jalla tidak memperintahkan menolak berita dari orang fasiq dan tidak pula menyuruh untuk mendustakannya, tetapi menolak dia sebagai saksi secara umum. Kita diperintahkan agar meneliti berita yang disampaikannya, jika ada qorinah (tanda) dan bukti bahwa berita yang dibawanya benar,  maka boleh mengambil beritanya, sekalipun kefasiqan yang telah dilakukannya berat. Inilah kaidah untuk mengambil riwayat dari orang yang fasiq dan persaksiannya, sebab banyak pula orang fasiq yang benar berita dan riwayatnya dan juga persaksiannya. Sedangkan kefasiqan mereka itu urusan lain. Jika seperti ini berita atau persaksiannya tidak boleh ditolak. Akan tetapi jika kefasiqannya karna dia sering berdusta dan mengulang-ulang kedustaannya, dan sekiranya bohongnya lebih banyak dari pada benarnya, maka kabarnya dan persaksiannya tidak diterima.” (Tafsir al-Qoyyim oleh Ibnul Qoyyim: 2/130)
Mungkin ada yang bertanya:
Jika berita orang fasiq tidak langsung ditolak, lalu apa faidahnya ayat di atas? Syaikh Ibnu Utsaimin menjawab: “Berita orang fasiq itu ada faidahnya, yaitu menggerakkan jiwa dan semangat agar manusia bertanya dan menelitinya. Karena tanpa berita dari mereka, kita tidak bergerak dan tidak pula berusaha. Akan tetapi ketika ada berita, kita berkata: Barangkali berita itu benar, maka menggerakkan kita untuk menanya dan mencari kebenarannya. Jika ada bukti atas kebenarannya atau tanda kebenarannya, maka kita boleh mengambilnya. Namun jika tidak, maka kita menolaknya.” (Tafsirul Qur’an lil Utsaimin:7/14)
Wajibkah Tabayyun Jika Berita Itu Dari Orang yang Jujur?
Tabayyun terhadap sebuah berita bukan hanya ditujukan kepada orang yang fasiq saja, sekalipun orang fasiq lebih diutamakan karena terkait dengan kefasiqannya, akan tetapi kepada mukmin yang tsiqoh pun sebaiknya juga perlu tabayyun, karena bagaimanapun juga manusia bisa lupa dan salah.
Syaikh Abdul Muhsin al-Badr hafidzahulloh pernah ditanya: “Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam QS. al-Hujurot [49]:6, apakah berita dari orang yang bukan fasiq diterima, mengingat orang muslim pada asalnya bersifat adil?”
Beliau menjawab: “Menurut asalnya orang muslim itu tidak dikenal kejujurannya, sampai diketahui dia jujur atau tidak. Seandainya orang Islam itu asalnya benar atau jujur, tentu tidak perlu digelari tsiqoh (dapat dipercaya), atau dia demikian dan demikian. Inilah asalnya orang Islam. Akan tetapi manusia berbicara tentang ta’dil (pujian) dan jarh (celaan) tsiqoh dan dho’if, kuat atau lemahnya hafalannya. Ini bukan berarti jika orang Islam tidak dijumpai kelemahannya lalu dihukumi tsiqoh atau dapat dipercaya. Karena pernyataan dia dipercaya atau tidak atas dasar ilmu, setelah meneliti keadaannya. “(Syarah Sunan Abi Dawud: 92/28)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulloh ditanya: “Ketika datang orang menyampaikan berita kepadaku, kami berkata: ‘Kami teliti dahulu, karena Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman di dalam QS. al-Hujurot: 6’ Lalu orang itu menanya kepadaku: ‘Apakah saya ini orang fasiq? atau kamu menuduh saya fasiq?’ Maka bagaimana pendapat Anda wahai Syaikh?”
Jawab beliau: “Meneliti berita dibutuhkan dua perkara:
Pertama, dari sisi amanat. Inilah yang dimaksud dalam QS. al-Hujurot: 6, karena orang fasiq tidak amanat.
Kedua, dari sisi kekuatan. Yaitu kekuatan ingatannya ketika menerima berita atau menyampaikannya dengan cepat sekali. Maka ketika saya berkata kepadanya, saya akan teliti dulu, bukan berarti saya mengatakan kamu fasiq, kamu menurut saya adalah orang yang jujur, akan tetapi boleh jadi kamu memahami ayat keliru, atau terburu-buru, atau lupa.
Namun sebaiknya jika menjumpai orang yang dhohirnya jujur dalam menyampaikan berita, kita tidak membacakan QS. al-Hujurot: 6, agar dia tidak tersinggung. Akan tetapi katakan kepadanya: ’Saya menerima beritamu, akan tetapi kami pelajari dahulu.’ Tentunya bila hatinya ragu-ragu.” (Liqo’ Babil Maftuh: 11/207)
Al-Imam al-Qurthubi rahimahulloh berkata: “Ayat ini membantah pendapat orang yang berkata bahwa semua orang muslim dapat dipercaya beritanya sehingga diketahui cacatnya, karena Alloh ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita agar meneliti berita sebelum menerimanya, dan bukan maksudnya penelitian itu dilakukan setelah dilaksanakan hukum, karena keputusan hakim sebelum mengadakan penelitian boleh jadi menimpakan hukuman yang salah kepada yang dihukum.” (Tafsir al-Qurthubi: 16/311)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulloh berkata: “QS. al-Hujurot: 6 memberitahukan bahwa jika ada orang yang jujur menyampaikan berita maka beritanya kita terima, akan tetapi ketentuan ini harus dipelajari lagi sebagaimana keterangan ayat dan hadits yang shahih, misalnya saksi pelaku perbuatan zina, jika datang kepada kita satu orang yang istiqomah dan baik akhlaknya, lalu dia berkata bahwa fulan berbuat zina, maka kita tidak menerimanya walaupun dia orang yang jujur, bahkan dia dicambuk delapan puluh kali karena menuduh orang yang tidak berbuat zina. Maka dalam hal ini kita hukumi dia fasiq sekalipun dia orang yang jujur sehingga dia bertobat. “ (Baca QS. an-Nuur [24]: 4 dan Tafsir al-Qur’an lil Utsaimin: 7/14)
Kesimpulannya, tabayyun terhadap sebuah berita sangat diperlukan sekalipun dari orang muslim yang dipercaya, karena tabayyun berbeda dengan buruk sangka, akan tetapi penelitian yang dilakukan adalah untuk mencari tambahan keterangan.

Bagaimana Sikap Kita Ketika Ada Berita?

Tulisan 2/3 dari tafsir Surat Al-Hujurot[49]:6
Adab Ketika Datang Berita
Perlu dimaklumi bahwa berita yang kita dengar dan kita baca tidak mesti semuanya benar. Terlebih lagi kita hidup pada zaman yang banyak terjadi fitnah, hasud, ambisi kedudukan, bbohong atas nama ulama, baik itu dilakukan melalui internet, Koran, majalah maupun media masa lainnya. Berita ini bukan hanya merusak kehormatan manusia, akan tetapi merusak ajaran Islam dan pemeluknya.
Sikap yang benar yang harus dilakukan agar kita tidak terpancing oleh berita fitnah ialah sebagaimana ajaran Islam membimbing kita, di antaranya:
  • Tidak semua berita harus kita dengar dan kita baca, khususnya berita yang membahas aib dan membahayakan pikiran.
  • Tidak terburu-buru dalam menanggapi berita, akan tetapi diperlukan tabayyun dan pelan-pelan dalam menelusurinya.
Rosululloh sallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“At-Ta-annii minAlloh wal ‘ajalatu minasy syaithoni”
“Pelan-pelan itu dari Alloh, sedangkan terburu-buru itu dari setan.” (Musnad Abu Ya’la: 7/247, dishohihkan oleh al-Albani: 4/404)
Al-Imam Hasan al-Bashri rahimahulloh berkata: “Orang mukmin itu pelan-pelan sehingga jelas perkaranya.”[1]
Syaikh Sholih Fauzan hafidzahullah berkata: ”Hendaknya kita pelan-pelan dalam menanggapi suatu perkataan, tidak terburu-buru, tidak tergesa-gesa menghukumi orang, hendaknya tabayyun. Sebagaimana firman Alloh ‘Azza wa Jalla dalam QS. al-Hujurot[49]: 6 dan QS. an-Nisa[4]: 94.” (al-Muntaqo min Fatawa al-Fauzan: 3/25)
  • Waspada terhadap pertanyaan yang memancing, karena tidak semua penanya bermaksud baik kepada yang ditanya, terutama ketika menghukumi seseorang. Oleh karena itu tidak semua pertanyaan harus dijawab. Bahkan menjawab ‘saya tidak tahu’ adalah separuh dari pada ilmu. (Hasyiyatul Utsuluts Tsalatsah: 1/118 oleh Abdurrohman bin Muhammad an-Najdi)
  • Hendaknya waspada menanggapi berita pelecehan kepada ulama Sunnah.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulloh berkata: “Sesungguhnya sebagian manusia kadang kala salah dalam memahami perkataan ulama, dan kadang kala seorang ulama memahami pertanyaan tidak seperti maksud penanya, lalu dia pun menjawab sesuai dengan yang dia pahami. Kemudian penanya ini menyebarkan perkataan yang tidak benar. Betapa banyak perkataan yang dinisbahkan kepada para ulama yang mulia, akan tetapi tidak ada dasarnya. Oleh karena itu wajib bagi kita meneliti perkataan orang yang memindah fatwa ulama atau bukan ulama terutama pada zaman sekarang, di mana hawa nafsu dan fanatic golongan menyebar, sehingga manusia berjalan bagaikan buta mata.” (Tafsirul Qur’an oleh Ibnu Utsaimin:7/17)
  • Hendaknya waspada mendengar berita yang disebarkan oleh pihak yang berprasangka buruk. Alloh ‘Azza wa Jalla menyuruh kita agar berbaik sangka dan menjauhi buruk sangka. (Baca QS. al-Hujurot [49]: 12). Rosululloh sallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Jauhilah dirimu  dari persangkaan, maka sesungguhnya persangkaan itu sedusta-dustanya perkataan.” (HR. al-Bukhori: 5144)
  • Jauhilah berita yang bersumber dari peng-ghibah dan pemfitnah.
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Penyebab orang itu memfitnah adakalanya karena ingin berbuat jelek kepada orang yang difitnah, atau ingin menampakkan kesenangan kepada yang diberi kabar, atau untuk mendengarkan cerita atau obrolan perkara yang batil. Ini semua adalah haram, maka haram bagi kita membenarkan orang yang membawa berita untuk memfitnah dengan cara apa pun, karena pemfitnah adalah orang fasiq yang wajib ditolak kesaksiannya.”[2]
Ada orang yang datang kepada Amirul mukminin, Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, dia menjelaskan kejelekan orang lain, lalu Umar rahimahullah berkata: “Jika kamu mau, kami akan periksa dahulu berita darimu ini, jika kamu pendusta maka kamu di dalam QS. al-Hujurot: 6, dan jika kamu benar maka kamu termasuk firman Allah ‘Azza wa Jalla: Hammaa zim masyaa-in binamiim
Yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah. ”(QS. al-Qolam [68]: 11)
Jika kamu mau, aku maafkan kesalahanmu.” Lalu orang itu berkata: “Saya memilih dimaafkan wahau Amirul Mukminin dan saya tidak akan mengulangi perkataan ini lagi.” (Nihayatul Arbi fi Fununil ‘Adab: 1/347)
Subhaanallaah! Betapa indahnya para penuntut ilmu pemula pada zaman ini bila mau mengambil faedah dari ulama yang mulia ini, sebuah nasihat emas yang bermanfaat untuk umat.
  • Waspadalah dari berita orang yang mengumbar lisannya tanpa ilmu dan tidak takut dosa. Orang Islam hendaknya tidak membicarakan sesuatu yang dia tidak tahu perkaranya, karena Allah ‘Azza wa Jalla mengancam orang yang berbuat dan berbicara tanpa ilmu. (Baca QS. sl-Isro’[17]: 36 dan QS. al-A’rof [7]: 33)
  • Waspadalah berita yang disebarkan penyembah hawa nafsu dan fanatik golongan. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Ayat ini menunjukkan bahwa manusia wajib meneliti berita terutama yang disampaikan oleh orang penyembah hawa nafsu dan fanatik golongan atau perorangan. Jika berita datang dari orang yang kurang dipercaya, maka wajib diteliti dan jangan terburu-buru dalam menghukuminya padahal berita itu dusta, maka kamu akan menyesal. Dari sinilah datang dalil ancaman keras bagi orang yang menggunjing, yaitu menukil sebagian perkataan orang yang bermaksud merusak orang lain. Rosulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Laa yadkhulul jannah qottaatun

“Tidaklah masuk Surga orang yang pemfitnah.”(Tafsir Ibnu   Utsaimin: 7/16)

Adab Menyampaikan Berita

Tidak semua berita yang kita terima boleh kita sebarkan, karena sumber berita ada kalanya dari orang fasik, orang dengki, pemfitnah bahkan dari orang kafir.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullaah berkata: ”Meneliti berita yang disampaikan oleh orang kafir lebih ditekankan. Oleh karenanya persaksian orang kafir tidak bisa diterima kecuali dalam keadaan darurat, seperti wasiat ketika orang muslim meninggal dalam bepergian dan tidak menjumpai orang muslim.” (Fatawa Nur ‘alad Darb Ibnu Utsaimin)

Syaikh Ibnu Baz rahimahullaah berkata: ”Kita hendaknya meneliti berita yang disampaikan oleh orang kafir dan orang fasik tentang perbintangan dan lainnya, tidak boleh terburu-buru membenarkan atau menolaknya, sehingga benar-benar kita mengetahuinya. Inilah makna QS.Al-hujurot [49]: 6.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 1/255)
Fatwa ulama yang mulia ini bukan hanya sekedar keluar dari pikiran mereka, akan tetapi berdasarkan hadits Rosulullaah shollalloh ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda:
Kafaa bil mar I kadziban an yuhadditsa bikulli maa sami’a
Cukuplah orang itu dikatakan pendusta apabila menceritakan setiap yang dia dengar.” (HR.Muslim:1/12, bersumber dari Hafsh bin ‘Ashim)
Demikian juga berita yang telah terbukti kebenarannya, tidak harus kita sebarkan apalagi jika hal itu membawa bahaya atau resahnya umat. Bukankah meng-ghibah hukumnya haram, walaupun perkataan tentang aib saudaranya itu benar adanya.
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah menanya sahabatnya, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (8/21): ”Tahukah kalian apa yang dinamakan ghibah?” Mereka menjawab: ”Alloh dan RosulNya yang lebih tau.” Lalu beliau bersabda:

Dzikruka akhooka bima yakrohu

“Kamu menyebut apa yang dibenci saudaramu”
Mereka bertanya: “Bagaimana bila yang aku sebut itu benar-benar terjadi?” Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika benar apa yang kalian katakan, maka kalian meng-ghibah. Jika tidak benar, kalian membuat kebohongan.”
Jika mengghibah orang muslim awam saja terlarang, maka bagaimana dengan ulama pembela sunnah? Ini semua dilarang karena membahayakan umat. Umat akan menjauhi orang yang berilmu dan terjadilah petaka.
Demikian juga dilarang membeberkan kesalahan para pemimpin di mimbar atau media masa (surat kabar, intenet, dan media lainnya). Karena yang demikian itu pada hakekatnya bukanlah menasehati pemimpin, tetapi menyebarkan kedholiman yang meresahkan umat.
Lalu kapan kita diperbolehkan menyebarkan berita jelek atas diri seseorang? Yaitu jika kejahatan yang mereka lakukan itu jelas-jelas membahayakan umat, seperti: pencuri, perampok, perusak keamanan, penyeru bid’ah dan syirik. Karena jika hal itu didiamkan akan membawa kerusakan yang lebih besar.
Tetapi dalam hal ini tidak berlaku untuk sembarang orang, ada orang yang lebih berhak menangani hal tersebut.
Kita boleh menyebut kejahatan orang bila bermaksud meminta fatwa kepada orang yang berhak dimintai fatwa.
Hindun Ummu Muawiyyah radhiyallohu ‘anha pernah berkata kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah suami yang bakhil, apakah saya berdosa jika mengambil hartanya?” Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam menjawab: ”Ambillah untukmu dan anakmu secukupnya dengan cara yang baik.” (HR.Al-Bukhori:1/186)
Hendaknya kita menyebarkan berita yang benar dan bermanfaat bagi umat, seperti memberitahukan permulaan bulan Romadhon, hari raya, waktu sholat, kajian ilmiah dan berita bermanfaat lainnya. Dan hendaknya kita tidak menyebarkan berita apabila mengakibatkan manusia malas beribadah. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada sahabat Mu’adz rodhiyallohu ‘anhu:

“Tidaklah seorang pun yang bersyahadat bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar kecuali Alloh dan Muhammad itu utusan Alloh benar-benar dari hatinya yang ikhlash melainkan Alloh mengharamkan dirinya masuk neraka.” Lalu Mu’adz berkata: “Wahai Rosululloh! Bolehkah aku beritahukan kepada manusia agar mereka gembira.” Beliau menjawab: “Kalau begitu, mereka akan bergantung pada kalimat ini saja saat mau meninggal dunia karena takut berdosa.” (HR.Bukhori:1/230)
Hendaknya kita tidak menyebarkan berita yang itu haknya ulama sunnah dan pemimpin. Alloh subhaanahu wa ta’ala berfirman:
Dan apabila dating kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rosul dan Ulil ‘Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui  kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rosul dan Ulil ‘Amri).” (QS. an-Nisa’ [4]: 83)
Syaikh Abdurrozzak bin Abdul Muhsin hafidzahullah berkata: “Hendaknya kalian memperhatikan ayat ini (QS. an-Nisa’: 83 ), di dalamnya mengandung pelajaran. jika terjadi perkara yang mengganggu keamanan negara, hendaknya tidak sembarang orang boleh bicara, tidak minta fatwa kepada sembarang manusia. Akan tetapi kembalikan urusan ini kepada ulama yang kuat mendalami ilmu agama dan ahli ijtihad. (Amnul Bilad Ahammiyatuhu wa Wasaailu Tahqiqihi wa Hifdzihi hlm: 25)
Hendaknya tidak menyebarkan berita yang melecehkan ulama sunnah. Banyak kita jumpai di internet, surat kabar dan media masa lainnya tentang pelecehan terhadap ulama sunnah yang dikemas sedemikian rupa oleh ahli bid’ah dan penyembah hawa nafsu, misalnya terhadap Syaikh al-Albani, Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumullah dan yang lainnya.
Hendaknya kita tidak menyebarkan berita yang tidak berdasar ilmu, misalnya katanya fulan demikian dan demikian. Karena yang demikian itu adalah tuduhan tanpa ilmu. Rosulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Innallaaha kariha lakum tsalaatsan qiila wa qaala, wa idhaa ‘atal maali wa katsratas su-al
“Sesungguhnya Allah membenci kamu tiga perkara: katanya dan katanya, menyia-nyiakan harta dan sering bertanya (yang tidak bermanfaaat).” (HR. al-Bukhari: 5/482)

Bahaya Penyebar Fitnah

Tulisan 3/3 dari tafsir Surat Al-Hujurot[49]:6
Penyebar fitnah bukan hanya dari orang kafir saja, namun juga sesama muslim. Dan yang kedua inilah yang justru berbahaya, karena mereka memakai topeng ayat dan sunnah untuk merusak ayat dan sunnah serta orang awam yang ingin kembali kepada sunnah. Siapakah yang berkata “orang yang berjenggot itu kambing kibas”, “orang yang memakai celana di atas mata kaki itu kelompok teroris, korban banjir”, kelompok salafy dibiayai orang yahudi, agama itu sama saja!? Apakah dari orang Hindu dan semisalnya? Tidak.
Karena itulah Rosulullah mengingatkan kita agar berhati-hati kepada da’I yang berada di ambang pintu jahannam, mereka adalah manusia yang mengaku beragama Islam.
Semestinya tokoh umat Islam ini senang bila ada orang yang berpegang dan mengamalkan Islam, bukan malah sebaliknya. Rosulullah bersabda:
“Maka sesungguhnya darahmu dan hartamu haram diganggu sebagaimana haramnya kamu mengganggu saudaramu pada hari ini (Arafah), pada bulan ini (Dzulhijjah) dan di negeri ini (Makkah), sampai hari engkau menjumpai Robbmu.” (HR. al-Bukhari: 6/412)
Wahai penyebar fitnah! Hendaklah kalian waspada. Bisa jadi kalian lolos dari hukuman dunia, akan tetapi ingatlah siksaan di akhirat lebih pedih dan lebih hina.
Agar kita tidak menjadi penggunjing dan pemfitnah, mari kita perhatikan bahayanya.
  • Penyebar fitnah akan mendapat siksaan
Firman Allah ‘Azza wa Jalla
(QS. an-Nur [24]:19)
  • Dia memikul kebohongan dan dosa yang nyata
Allah berfirman:
(QS. al-Ahzab [33]: 58)
  • Melenyapkan amal baiknya apabila perkaranya tidak diselesaikan di dunia.
Dari Abu Hurairah Rosulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang dirinya merasa mendholimi saudaranya, hendaklah dia membebaskannya, karena tidaklah di sana dia memiliki satu dinar dan satu dirham berupa kebaikan melainkan akan diambil oleh saudaranya. Maka jika dia tidak memiliki kebaikan, akan diambilkan dosa saudaranya lalu dilemparkan kepada dirinya. (HR. al-Bukhari: 2269)
  • Penyebar kebohongan tanda inkarul Qur’an (mengingkari al-Qur’an)
Sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang2 yang tidak beriman kepada ayat2 Allah, dan mereka itulah orang2 pendusta.” (QS. an-Nahl [16]:105)
  • Lebih berat dosanya dari pada pemakan riba
Rosulullah bersabda:
“Sesungguhnya paling beratnya dosa riba orang yang selalu melecehkan orang muslim tanpa dalil yang benar.” (HR. Abu Daud: 14/163, bersumber dari Sa’id bin Zaid. Dishsahihkan olah al-Albani dalam kitab at-Targhib wat Tarhib: 2/238)
Jika pelaku riba memakan harta riba, maka orang yang memfitnah itu sama halnya dengan memakan daging saudaranya yang mati (baca QS.al-Hujurot[49]:12)
  • Pemfitnah berarti meneror saudaranya.
Rosulullah bersabda
“tidaklah halal seorang muslim meneror seorang muslim lainnya.” (HR. Abu Dawud: 14/344. Dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab Ghayatul Maram: 1/257 )
  • Penyebar berita fitnah hendaknya takut akan adzab Allah ‘Azza wa Jalla
Karena sesungguhnya tidak satu kalimat yang keluar dari mulutnya melainkan malaikat mencatatnya. Allah berfirman:
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qof [50]:18)
Semoga Allah menyelamatkan kita dari bala’  fitnah dan dari memfitnah.

Kekeliruan Muncul Saat Berpaling Dari Bimbingan Wahyu

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِن جَآءَكُمْ فَاسِقُُ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَافَعَلْتُمْ نَادِمِينَ {6} وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِّنَ اْلأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ اْلإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُوْلَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ {7} فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَنِعْمَةً وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ {8}

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu sekalian dalam beberapa urusan benar-benarlah kalian akan mendapatkan kesusahan, tetapi Allah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.
Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [al Hujurat : 6-8]
SEBAB TURUNNYA AYAT YANG PERTAMA
Imam Ahmad meriwayatkannya dalam hadits yang panjang, di antara isinya: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus al Walid bin ‘Uqbah Radhiyallahu ‘anhu untuk menemui al Harits (bin Abi Dhirar al Khuza’i dari Bani Musthaliq) untuk mengambil zakat yang sudah dikumpulkan. Tatkala al Walid telah menempuh beberapa jalan, ia takut dan pulang, kemudian menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, al Harits menghalangiku untuk mengambil zakat dan berusaha membunuhku,” maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyiapkan pasukan menuju al Harits. Al Harits datang bersama teman-temannya (menuju Madinah). Delegasi (Nabi) menjumpainya dan mengetahuinya : “Itu al Harits”. Ketika al Harits sudah mendekati delegasi tersebut, ia bertanya: “Kalian diperintahkan pergi kemana?” Mereka menjawab: “Kepadamu (wahai al Harits),” ia bertanya : “Apa sebab?”Mereka menjawab : “Sesungguhnya Rasulullah telah mengutus al Walid bin ‘Uqbah kepadamu. Menurutnya, engkau menghalanginya mengambil zakat dan ingin membunuhnya,” ia (al Harits) menampik : “Tidak, demi Dzat yang mengutus Muhammad dengan al haq, aku tidak pernah melihatnya, ia tidak pernah mendatangiku”. Ketika kemudian al Harits menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata : “Engkau menolak membayar zakat dan ingin membunuh utusanku?” Ia menjawab : “Tidak, demi Dzat yang mengutus Muhammad dengan al haq, aku tidak pernah melihatnya, ia tidak pernah mendatangiku. Dan tidaklah aku datang (sekarang ini), kecuali karena utusan Rasulullah tidak muncul. Aku khawatir kalau hal itu (ketidak hadiran utusan beliau untuk mengambil zakat, Pen) karena adanya kemurkaan dari Allah Azza wa Jalla dan RasulNya,” maka turunlah ayat ini.[1]
PENJELASAN AYAT
Sebagai penjelasan ayat pertama, kami kutipkan penjelasan dari Syaikh as Sa’di yang menyatakan :
“Ini juga (merupakan) beberapa adab yang harus dipenuhi dan digunakan oleh orang-orang yang berakal. Yaitu, apabila ada seorang fasik yang datang dengan membawa berita kepada mereka (kaum Muslimin), hendaknya mereka melakukan tatsabbut (klarifikasi) terhadap beritanya, tidak dengan serta merta mengambilnya begitu saja. Karena tindakan ini bisa mengakibatkan bahaya yang besar dan terjatuh dalam perbuatan dosa. Jika beritanya dianggap seperti kabar yang dibawa orang jujur lagi adil, dan dilaksanakan kandungannya, maka akan timbul lenyapnya jiwa dan harta tanpa alasan yang dibenarkan, lantaran isi dari berita (yang tidak benar) itu, yang akhirnya menimbulkan penyesalan.
Yang wajib dilakukan terhadap berita orang fasik adalah tatsabbut dan tabayyun (klarifikasi dan konfirmasi). Kalau ada bukti dan kondisi yang menunjukkan kejujurannya, maka bisa dilaksanakan dan dibenarkan. Namun apabila mengindikasikan sebuah kedustaan belaka, maka harus diingkari dan tidak perlu diikuti”. [2]
Ayat ini, kendati  pun turun berkenaan dengan sebab tertentu, hanya saja kandungannya umum dan menjadi prinsip dasar penting. Maka kewajiban seseorang, komunitas, negara, tidak boleh menerima sebuah berita yang sampai kepada mereka dan tidak melaksanakan substansinya, kecuali setelah tatsabbut dan tabayyun yang tepat. Karena dikhawatirkan akan menimpakan keburukan kepada seseorang ataupun masyarakat tanpa alasan. (Jadi) memegangi prinsip tatsabbut dan tabayyun dalam menyeleksi berita dari seseorang adalah wajib, yang berguna untuk menjaga kehormatan individu-individu dan pemeliharaan terhadap jiwa dan harta mereka.[3]
واعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللهِ
(Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah)
Firman Allah Azza wa Jalla di atas, maknanya, seperti dikatakan Imam Ibnu Katsir rahimahullah : “Ketahuilah bahwa di tengah kalian ada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Agungkan dan muliakanlah beliau. Bersikaplah dengan penuh etika saat bersamanya. Tunduklah kalian pada perintahnya. Sebab beliau orang yang paling mengetahui tentang maslahat bagi kalian dan lebih sayang kepada kalian daripada diri kalian sendiri. Daya pertimbangan beliau tentang kalian lebih sempurna dari pemikiran kalian, seperti makna firman Allah Azza wa Jalla :
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنفُسِهِمْ
Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri. [al Ahzab:6].
Syaikh Abu Bakar al Jazairi di dalam tafsirnya menyatakan, Allah ingin mengarahkan pandangan kaum Muslimin (para sahabat, Pen) pada sebuah substansi penting yang mereka lalaikan. Yaitu, tentang keberadaan Rasulullah di tengah-tengah mereka, dengan wahyu yang turun kepada beliau. Kondisi ini menuntut mereka untuk senantiasa bertutur kata jujur dan bertindak elegan. Kalau tidak, niscaya wahyu akan membuka kedok (kesalahan) mereka secara langsung, jika mereka berdusta.[4]
لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِّنَ اْلأَمْرِ لَعَنِتُّمْ  (Kalau ia menuruti (kemauan) kamu sekalian dalam beberapa urusan benar-benarlah kalian akan mendapatkan kesusahan).
Tentang ayat di atas, Imam at Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Nadhrah rahimahullah, dari sahabat Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu ‘anhu. Tatkala sahabat yang mulia ini membaca ayat di atas, ia berkomentar :
هَذَا نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوحَى إِلَيْهِ وَخِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ لَوْ أَطَاعَهُمْ فِي كَثِيرٍ مِنْ الْأَمْرِ لَعَنِتُوا فَكَيْفَ بِكُمْ الْيَوْمَ
Ini nabi kalian, diwahyukan kepada beliau wahyu. Dan mereka (para sahabat) adalah orang-orang (yang) terpilih (dari kalangan) kalian. Seandainya beliau mengikuti mereka dalam banyak urusan, niscaya mereka akan terjerumus dalam kesulitan. Bagaimana dengan kalian sekarang?[5]
Artinya, kalau beliau mentaati mereka dalam setiap perkara yang mereka pandang (baik) dan mereka usulkan, niscaya mereka akan terjerembab dalam berbagai permasalahan yang menyeretnya kepada beragam kesulitan yang tidak terpikul, atau bahkan tidak menutup kemungkinan pada dosa-dosa yang besar.[6]
Hal ini seperti kandungan firman Allah Azza wa Jalla :[7]
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَآءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَاْلأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَ
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. [al Mukminun : 71].
Manusia, meskipun fitrahnya lurus, ia sangat membutuhkan bimbingan al Kitab dan Sunnah untuk mengetahui kebaikan. Sebab, ada saja yang tidak diketahui olehnya, sehingga suatu kebaikan dianggap sebagai kejelekan dan sebaliknya. Akhirnya penilaian pun keliru.
Di dalam Shahihain, dari sahabat Huzhaifah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan keadaan masa mendatang :
فَيُصْبِحُ النَّاسُ يَتَبَايَعُونَ فَلَا يَكَادُ أَحَدٌ يُؤَدِّي الْأَمَانَةَ فَيُقَالُ إِنَّ فِي بَنِي فُلَانٍ رَجُلًا أَمِينًا وَيُقَالُ لِلرَّجُلِ مَا أَعْقَلَهُ وَمَا أَظْرَفَهُ وَمَا أَجْلَدَهُ وَمَا فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةِ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ
Orang-orang nantinya akan saling melakukan transaksi jual-beli. Hampir-hampir tidak ada seorang pun yang amanah. Sehingga akan didengungkan “di kalangan Bani Fulan ada orang yang amanah,” maka orang itu dipuji : “Alangkah cerdas, beruntung dan kuat dirinya,” padahal ia tidak memiliki kadar keimanan seberat biji sawi sekalipun. [8]
Bagaimanapun ketinggian ilmu dan keshalihan seseorang, ada saja kebaikan yang tidak diketahuinya. Ketidaktahuan semacam ini juga terjadi pada generasi terbaik, generasi sahabat. Bagaimana dengan generasi lainnya? Tentu sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, merujuk kepada al Kitab dan Sunnah menjadi keharusan bagi setiap muslim.
Syaikh Abdul Malik Ramdhani mengatakan [9] : “Firman Allah (yang kedua) di atas, redaksinya mengarah kepada sebaik-baik orang yang beribadah kepada Allah dan memahami syariatNya (para sahabat, Pen). Seandainya mereka dibiarkan begitu saja tanpa diberi penjelasan dari al Kitab dan Sunnah, niscaya pilihan mereka dalam banyak hal benar-benar akan mengandung kesulitan bagi mereka sendiri. Bagaimana dengan orang yang kualitasnya di bawah mereka?”
Sebagai contoh, ada sebagian sahabat yang mengira, kalau meninggalkan wanita secara mutlak itu menggambarkan sifat ‘iffah dan kesempurnaan dalam beribadah. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melarangnya, karena ada unsur kesulitan yang timbul, selain karena bertentangan dengan fitrah.
Dari Sa’d bin Abi Waqqash Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
رَدَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لَاخْتَصَيْنَا
Rasulullah menolak tabattul [10] dari ‘Utsman bin Mazh’un. Andai beliau membolehkannya, niscaya kami akan mengebiri diri kami. [Muttafaqun 'alaih].
Atau riwayat lain yang menceritakan bahwa Mu’adz Radhiyallahu ‘anhu, tatkala pulang dari Syam, ia sujud di hadapan beliau. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
مَا هَذَا يَا مُعَاذُ قَالَ أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَافَقْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ نَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا تَفْعَلُوا فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Apa-apaan ini, wahai Mu’adz?” Dia menjawab,”Aku baru datang dari Syam. Kedatanganku menepati mereka (orang-orang di sana) sedang sujud untuk uskup dan pendeta-pendeta mereka. Maka aku ingin melakukannya kepadamu,” beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Janganlah kalian lakukan. Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk bersujud, maka akan kuperintahkan istri untuk bersujud kepada suaminya.” [11]
Dalam hadits di atas, Mu’adz Radhiyallahu ‘anhu ingin sujud kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm sebagai bentuk penghormatan. Namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya dan menjelaskan tindakan yang ia anggap baik itu berseberangan dengan prinsip paling penting dalam Islam, yaitu tauhid. Maka oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkarinya.
Maka, tidak diragukan lagi, penghormatan kepada orang-orang yang besar dengan cara bersujud mengandung unsur kesulitan yang besar. Ditambah lagi adanya penyimpangan dalam syariat sehingga merubah tatanan nilai. Realita yang ada, percampuran lelaki dan perempuan tidak dipandang masalah, pembatasan anak disebut sebagai wujud kesadaran ekonomi, saling bersalaman usai shalat fardhu dan kebiasaan-kebiasaan lainnya yang bertentangan dengan aturan agama disangka sebagai bagian dari agama. Sehingga keberadaan wahyu mutlak diperlukan oleh setiap manusia.
وَلَكِنَّ اللهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ اْلإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ
(Tetapi Allah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan)
Tetapi karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing kalian dan Allah  telah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikannya indah di hati-hati kalian, lantaran Allah memasukkan kecintaan kepada al haq dan mengutamakannya pada kalbu-kalbu kalian. Dan juga lantaran tegaknya bukti dan petunjuk bagi al haq yang menunjukkan kebenarannya, hati yang mudah menerima, serta taufikNya bagi kalian untuk berinabah (kembali) kepadaNya.
Dia menjadikan kalian benci kepada al kufru dan fusuq, yaitu dosa-dosa besar, serta ‘ishyan, yaitu tingkatan dosa yang di bawahnya melalui rasa benci yang Allah letakkan di hati-hati kalian dan tiadanya kehendak untuk mengerjakannya, juga melalui tegaknya dalil dan bukti mengenai keburukannya, serta karena fitrah manusia tidak menerimanya.[12]
أُوْلَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ (Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus)
Mereka itu (para sahabat Rasulullah, Pen) berada di atas jalan yang lurus, mendapatkan petunjuk menuju akhlak yang baik, tidak menyimpang lagi tidak tersesat.[13]
فَضْلاً مِّنَ اللهِ وَنِعْمَةً وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana)
Karunia yang dianugerahkan kepada kalian merupakan keutamaan dan kenikmatanNya kepada kalian. Allah Maha Mengetahui orang yang berhak mendapatkan hidayah dan manusia yang pantas tersesat. Demikian juga Allah Maha Bijaksana dalam setiap firman, tindakan dan aturan syariatNya, serta takdirNya.[14]
Hidayah yang didapat para sahabat merupakan keutamaan dan anugerah dari Allah bagi mereka. Allah Maha Mengetahui niat dan kehendak yang ada pada mereka. Allah Maha Bijaksana dalam pengaturanNya, dengan menjadikan para sahabat sebagai manusia-manusia yang pantas menerima kebaikan, dan menjadikan mereka sebagai umat yang paling baik secara mutlak. [15]
BEBERAPA PELAJARAN DARI AYAT
Dari ayat-ayat di atas, bisa mengambil beberapa pelajaran penting, sebagai berikut : [16]
Pertama : Kita memahami, bahwa Rasulullah memiliki kedudukan yang tinggi.
Kedua : Wajib bagi kita melakukan tatsabbut dalam menyikapi berita-berita penting yang bisa mengakibatkan timbulnya gangguan atau bahaya atas diri seseorang berkaitan dengan berita yang kita dengar.
Ketiga : Diharamkan bersikap tergesa-gesa yang dapat mengakibatkan seseorang menghukumi sesuatu dengan dasar persangkaan belaka, sehingga pelakunya nanti akan menyesal di dunia dan akhirat.
Keempat : Di antara kenikmatan besar yang diraih seorang mukmin, bahwa Allah menjadikannya cinta terhadap keimanan kepadaNya, dan menjadikan (iman itu) indah di hatinya.
Kelima : Allah menjadikannya benci kepada tindakan kekufuran, kefasikan dan maksiat. Dengan itu, seorang mukmin menjadi insan yang paling lurus setelah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Washallahu ‘ala nabiyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shahbihi ajma’in.